Rini Yuliati

Seorang ibu dari dua orang putri yang ingin belajar merangkai huruf sehingga menjadi bermakna. Tinggal di sebuah kota kecil di Kebumen, Jawa Tengah. Profesi mom...

Selengkapnya
Navigasi Web

Teka-teki Rania

Sejalan dengan digalakkannya program literasi di sekolah. Guru harus bisa memancing anak didik untuk aktif dalam kegiatan tersebut. Tak terkecuali di sekolah si sulung. Beberapa hari ini, dia rempong karena mendapat tugas untuk membuat cerpen. Tak tanggung-tanggung, target 5 halaman. Baginya target tersebut ternyata sangat menguras pikiran. Tidak mudah baginya merangkai kata demi kata untuk dibuat cerita. Akhirnya setelah berjuang di depan laptop selama beberapa hari, dia berhasil. Suatu kisah persahabatan berhasil di tulisnya. Inilah kisahnya dengan judul "Teka-Teki Rania"

Mentari bersinar terang pagi ini. Cahayanya yang hangat menyelinap masuk melewati celah jendela. Terdengar kicauan burung yang saling bersahutan. Alarm di atas meja yang berbunyi nyaring telah membangunkan seorang anak perempuan dari dunia mimpi. Walau suara alarm menerobos masuk ke telinganya, ia masih saja menggeliat bagai beruang yang sedang hibernasi di musim dingin. Sedikit demi sedikit ia mulai menggerakkan tubuhnya dan beranjak dari pulau kapuk. Ia segera bangun dan mencari handuk untuk mandi. Sebenarnya udara pagi ini sangat nyaman untuk menikmati dunia mimpi. Namun, ia tak ingin membuat masalah dengan gurunya yang super cerewet apabila ia sampai terlambat ke sekolah.

“Raniaaa...” panggil Haya sembari berlari mendekati Rania. Haya memandang Rania dengan tatapan penuh kegembiraan seperti biasanya. Haya dikenal sebagai anak yang ceria, cantik, imut, taat agama dan anak seorang pengusaha ternama. Sayangnya, ia sedikit pemalas. Sedangkan Rania merupakan anak yang baik, pintar, manis, dan murah senyum. Rambut panjang Rania membuatnya terlihat begitu anggun dan menawan seperti putri ketika terkena hembusan angin yang sepoi-sepoi. Tak heran ia membuat para perempuan di sekolahnya merasa iri dengan kecantikannya.

Haya dan Rania berjalan bersama menyusuri jalanan yang masih penuh dengan kabut tebal pagi ini. Mereka selalu jalan kaki setiap berangkat ke sekolah. Mereka berdua bersekolah di salah satu SMP favorit Kota Andalusia, yaitu SMP N 1 Andalusia. Walaupun Haya memiliki mobil dan fasilitas mewah lainnya, ia tidak mau dimanja dan ingin hidup sederhana. Sehingga ia selalu jalan kaki untuk menuju ke sekolah. Wajah Rania yang terlihat kusut mengundang rasa penasaran Haya.

“Ran, kamu lagi ada masalah ya? Dari tadi aku bicara kamu hanya mengangguk tanpa ekspresi,” ucap Haya dengan wajah penuh tanda tanya

Rania pun menjawab “Aku tidak apa-apa kok, hanya mengantuk dan lelah karena aku lembur tadi malam”.

“Jika ada sesuatu denganmu, langsung beritahu aku ya ! Aku kan sahabatmu yang siap membantumu kapanpun dan dimanapun, tanpa diminta aku pun selalu siap menyelesaikan masalahmu,” ucap Haya sambil memeluk Rania dengan erat. Rania pun tersenyum dan terharu mendengar ucapan sahabatnya itu. Ia sangat beruntung dipertemukan dengan seseorang yang selalu menyemangatinya dalam situasi apapun. Rania tak pernah menyangka Haya yang ia temui pertama kali waktu dulu masuk SMP berbeda dengan yang ada di hadapannya sekarang. Haya yang sekarang lebih dewasa dan tidak manja seperti yang dulu. Rania lah yang mengubah sifat Haya yang dahulu menjadi sekarang ini. Pertama masuk SMP, Haya orang yang sombong dan selalu memamerkan kekayaan miliknya. Ia juga tidak mau berteman dengan orang yang tidak sederajat dengannya. Sedikit demi sedikit Rania mengajari cara hidup hemat, berbuat kebaikan kepada orang lain, dan mengubah sikap Haya yang kurang sopan. Berkat kesabaran Rania, Haya yang sekarang menjadi lebih baik dan tidak lagi sombong. Semenjak itu, Haya dan Rania menjadi sahabat yang tidak bisa dipisahkan. Mereka selalu berbagi kebahagiaan dan kesedihan bersama.

Sesampai di sekolah, mereka langsung memilih tempat duduk paling depan. Haya segera menuju mushola sekolah untuk melaksanakan shalat dhuha. Ia juga tak lupa mengajak Rania ke mushola. Walaupun Haya sedikit pemalas, dalam hal beragama ia sangat taat dan selalu menutup aurat dengan hijabnya.

Setelah selesai shalat dhuha, mereka berdua kembali ke kelas untuk melanjutkan pelajaran. Pelajaran pertama yaitu Pendidikan Agama Islam dan guru yang mengajar adalah Bu Marwa. Ada sebuah pertanyaan mengenai manfaat shalat sunnah dan untuk para murid yang bisa menjawab mendapat 10 poin. Saat itu, Haya langsung mengacungkan tangan untuk menjawab pertanyaan dari Bu Marwa.

“Menurut saya, banyak sekali manfaat dari shalat sunnah. Shalat sunnah bermanfaat untuk mendapatkan pahala serta ridho dari Allah, meringankan beban pikiran, dicukupkan kebutuhannya oleh Allah SWT, dan mendapat segala kemudahan,” jawab Haya dengan penuh keyakinan.

Jawaban Haya membuat Rania terharu dan tak terasa air matanya menetes. Rania sadar bahwa selama ini ia sering melupakan ibadah yang sangat dianjurkan. Ia tiba-tiba teringat banyaknya masalah yang ia hadapi. Sebenarnya ia ingin berbagi kesedihannya kepada Haya. Namun, ia belum berani menceritakannya dan menunggu waktu yang tepat. Ia segera menghapus air matanya sebelum Haya melihat dan menanyakannya.Semua teman Haya bertepuk tangan atas jawabannya. Begitu juga Bu Marwa. Namun, ada seorang anak bernama Riska yang tidak suka kepada Haya dan Rania.

“Aaah... begitu saja bangga, semua orang juga pasti bisa menjawabnya, itu pertanyaan yang sangat mudah. Jangan sok alim ya !” ucap Riska dengan ketus. Rania tidak terima atas perlakuan Riska terhadap sahabatnya itu. Ia langsung mendorong Riska. Bu Marwa pun segera melerai Riska dan Rania.

“Sudah jangan bertengkar lagi! Riska kamu tidak boleh mengejek temanmu yang sudah berani menjawab pertanyaan. Ia hanya ingin mengutarakan pendapat dan tidak bermaksud untuk sok alim. Jadi, jangan ulangi itu lagi. Mengerti?” ucap Bu Marwa.

Riska pun hanya mengangguk dengan sedikit kesal karena merasa dirinya telah dipermalukan. Rania pun menatap Riska dengan tatapan tajam. Mereka berdua tidak bisa akur dan tak bisa disatukan. Tak heran jika mereka selalu memperdebatkan masalah yang sepele.

Sepulang sekolah, Rania dan Haya mampir di sebuah warung langganan mereka sejak dulu. Di warung tersebut, mereka berbincang-bincang untuk membahas masalah tugas kelompok yang akan dikerjakan di rumah Haya. Rania pun menyetujuinya. Setelah selesai membahas, mereka pun pulang bersama. Ketika sedang berjalan, ada sebuah mobil merah yang mengklakson dan berhenti di depan mereka. Setelah kaca mobil dibuka, ternyata ada seorang laki-laki paruh baya yang merupakan sopir pribadi ayah Haya. Ia disuruh untuk menjemput Haya karena ayah Haya sibuk di kantor dan akan pulang malam nanti. Akhirnya, Haya pun mengajak Rania untuk naik mobilnya bersama. Rania sebenarnya tidak enak jika harus diantarkan Haya. Namun, ia tidak ingin menolak ajakan dan menyakiti perasaan sahabatnya itu. Setelah sampai di sebuah perumahan, Rania pun meminta sopir untuk berhenti dan menurunkannya di depan rumah besar. Haya pun hanya bisa berdecak kagum melihat rumah yang sangat besar itu. Selama ini Haya tidak pernah diajak ke rumah Rania dan ia baru tahu rumah Rania sekarang. “Ran, aku ingin main ke rumahmu boleh tidak? Masa sahabatmu tidak pernah main ke rumahmu,” tanya Haya dengan halus. Rania sedikit gugup mendengar perkataan Haya. “Hehehe... besok saja ya, aku hari ini ada acara,” jawab Rania sambil berlari menuju rumah besar itu. Haya bingung dan ingin mengetahui yang sebenarnya alasan Rania tak pernah mengajaknya ke rumah. Padahal Haya adalah sahabat terdekat dan sering berbagi cerita tentang kehidupan mereka.

Keesokan harinya, Rania pergi ke rumah Haya sesuai janji untuk mengerjakan tugas kelompok bersama. Setelah sampai di rumah Haya, Rania memanggil Haya dari depan pagar yang besar berwarna abu-abu. Haya pun keluar dan menyuruh Rania masuk. Rania masuk sambil melihat-lihat rumah Haya dengan kagum. Haya bingung dengan tingkah laku Rania. Ia berpikir kalau Rania juga memiliki rumah yang besar seperti rumah Haya. Rania bertanya kepada Haya “Hay, dimana ayahmu?”. Haya menjawab kalau ayahnya sedang bekerja dan pulangnya selalu malam hari. Rania pun memahaminya. Haya pasti kesepian karena ibunya telah tiada dan ayahnya selalu pulang malam. Tiba-tiba Haya menangis dan bercerita bahwa ia ingin mengatakan sesuatu kepada ayahnya tetapi ia tidak berani. Dahulu sebelum ibunya meninggal Haya selalu berbagi cerita kepada ibunya. Namun, sekarang ibunya telah tiada dan tak ada lagi tempat berbagi cerita dalam keluarga kecilnya. Sekarang, keluarga kecil Haya telah hancur dan mati tak bersisa. Ayahnya jarang mengajak Haya untuk berbincang-bincang bersama dan lebih memilih untuk beristirahat setelah pulang kerja. Sehingga Haya sedikit canggung bila ingin berbicara dengan ayahnya.

Rania pun memberi solusi kepada Haya. Ia memberi tahu cara meluluhkan hati ayah Haya agar bisa diajak untuk berbincang-bincang bersama seperti dulu lagi. Haya menganggukan ucapan Rania. Setelah kerja kelompok selesai, Rania pamit kepada Haya dan asisten rumah tangganya untuk pulang karena hari sudah mulai gelap. Setelah Rania pulang, Haya mulai menyiapkan sesuatu untuk ayahnya agar bisa kembali berbincang seperti dulu lagi. Haya berharap cara ini berhasil membuat ayahnya luluh dan mau kembali seperti dulu lagi menjadi keluarga kecil yang bahagia. Awalnya Haya ragu dan kurang percaya. Namun, ia tetap mencoba dan berusaha karena ia yakin bahwa hasil tidak mengkhianati usaha. Setelah ayahnya pulang, ia pun segera menyambut ayahnya dengan ramah dan bersalaman. Lalu, ia menyuruh ayahnya untuk duduk di meja makan dan makan malam bersama. Haya menyiapkan makanan yang ia masak dengan tangannya sendiri tanpa bantuan siapapun. Ia memasak sup bakso kesukaan ayahnya. Ayah Haya bingung dengan sikap anaknya yang begitu perhatian kepadanya. “Tumben, kamu memasak makanan untuk ayah. Memangnya ada sesuatu yang spesial ya?” tanya ayah Haya sembari mengambil sup buatan Haya.

“Tidak kok, Yah. Haya hanya ingin mengatakan sesuatu kepada ayah. Haya ingin keluarga kita kembali seperti dulu lagi. Haya ingin ayah ceria, mengajakku bercerita tentang sekolah, pulang lebih awal, dan mengajariku PR. Haya tahu ayah masih sedih dan murung karena kepergian ibu. Namun, janganlah ayah terus bersedih, kasihan ibu juga ikut sedih melihat ayah. Salah satu kebahagiaan terbesar adalah saat melihat senyum dan keceriaan menghias wajah setiap anggota keluarga. Jadi, Haya ingin mulai sekarang ayah tidak boleh bersedih lagi dan berusaha untuk mengikhlaskan kepergian ibu,” ucap Haya dengan suara gemetar. Ayah Haya pun tak kuasa mendengar perkataan putrinya yang begitu mengoyak hatinya. Ia menangis dan memeluk erat Haya tanpa bisa berkata-kata. Lalu, ayah Haya menjawab perkataan Haya dengan halus, “Baiklah jika itu yang kau inginkan, maafkan ayah selama ini kurang memperhatikanmu. Ayah janji akan berusaha melupakan kesedihan dan akan selalu memperhatikanmu,” Haya pun sangat bersyukur usahanya berhasil untuk mengembalikan keluarganya yang pernah jatuh tersungkur. Kini, ia mulai bangkit dan menjadi anak yang lebih kuat dalam menghadapi hidup.

Hari Minggu ini, Haya ingin ke rumah Rania untuk mengucapkan terima kasih atas bantuannya dalam rencana mengembalikan keluarganya yang pernah hancur. Ia pergi ke rumah Rania tanpa memberitahunya terlebih dahulu. Sesampai di depan gerbang rumah Rania, Haya pun memanggil Rania. Lalu, keluarlah seorang satpam dan menanyakan maksud Haya ke rumah. Kemudian, satpam tersebut mengatakan bahwa Rania biasanya ke rumah sore hari. Ketika Haya hendak bertanya lagi, satpam itu dipanggil oleh seorang wanita muda untuk membukakan gerbang dan mengeluarkan mobil. Haya berpikir kalau itu mungkin adalah ibunya Rania. Haya pun langsung meninggalkan rumah Rania dan kembali pulang. Ia sedikit kecewa tidak bisa main ke rumah Rania. Setelah itu, telepon Haya berbunyi dan tertera nama Rania. Dengan cepat Haya mengangkat telepon dari Rania. “Assalamu’alaikum Hay, tadi kamu ke rumahku ya? Seharusnya kamu ngabarin dulu. Jangan langsung ke rumahku. Aku kalo siang sampai sore les,” ucap Rania sedikit kesal. Haya pun mengiyakan perkataan Rania tanpa basa-basi lagi. Ia bingung mengapa Rania tiba-tiba terdengar marah dan tidak senang. Karena Haya penasaran dengan sikap Rania seperti itu, ia pun berencana untuk mengikuti Rania setelah pulang sekolah esok hari. Ia ingin mengetahui apa yang sebenarnya dirahasiakan oleh Rania.

Setelah bel pulang sekolah berbunyi, Rania terlihat tergesa-gesa segera pulang dan mempercepat langkahnya. Lalu, Haya penasaran dan mengikuti Rania tanpa sepengetahuannya. Setelah sampai di rumah Rania, Haya bersembunyi di balik sebuah pohon besar. Ia melihat Rania masuk rumah melewati pintu belakang. Haya menunggu beberapa menit dan keluarlah Rania dengan membawa sekantong kresek yang ia tak tahu isinya apa. Lalu, Rania berjalan dengan cepat menuju seberang jalan dan berhenti di sebuah toko obat. Ia terlihat sangat gugup dan berkeringat. Setelah selesai membayar obat yang dibelinya, Rania pun melanjutkan perjalanannya yang entah kemana. Haya terus mengikutinya dari belakang. Ia melihat Rania berjalan melewati gang sempit yang tak pernah ia lewati sebelumnya. Setelah berjalan cukup lama, Rania pun berhenti di sebuah rumah kecil. Haya memandang dari kejauhan Rania memasuki rumah tersebut.

Kemudian, Haya mendekati rumah tersebut dan mengintip dari jendela. Ia melihat Rania sedang menyuapi seorang wanita paruh baya dan memberinya obat yang tadi Rania beli di toko obat. Haya tidak bisa menebak siapa wanita paruh baya itu. Tiba-tiba Rania melihat Haya sedang mengintip dari balik jendela. Ia terkejut dan segera keluar rumah menemui Haya. Dengan wajah sedikit marah, Rania berkata kepada Haya “Kamu ngapain kesini? Sekarang kamu sudah tahu semuanya kan? Aku tahu kamu pasti tidak mau jadi sahabatku lagi,” ucap Rania.

Haya yang tidak tahu apapun merasa bingung apa yang harus ia lakukan sekarang. Ia merasa bersalah karena telah menguntit Rania. Ia tidak menyangka sahabatnya bisa marah sedemikian. Setelah Rania mengungkapkan kekesalannya kepada Haya, ia berlari sambil menangis tersedu-sedu. Haya pun mengejar Rania tanpa mengetahui akan kemana Rania pergi. Setelah sampai di sebuah danau, Rania berhenti di sebuah pohon. Ia duduk dibawahnya sambil menangis. Haya langsung menghampiri Rania dan duduk disebelahnya. Ia bertanya kepada Rania apa yang sebenarnya Rania rahasiakan selama ini darinya.

Lalu, Rania menjawab sambil menangis “Sebenarnya rumahku bukan di perumahan besar yang pernah aku tunjukan padamu kemarin tetapi rumah kecil tadi itu rumahku. Wanita paruh baya itu adalah ibuku. Ia mengidap penyakit stroke sehingga aku harus rutin membelikannya obat. Aku tidak punya uang untuk membawa ibuku ke dokter. Selama ini aku bekerja sebagai pembantu di perumahan besar yang aku akui sebagai rumahku. Aku terpaksa bekerja sebagai pembantu karena itu adalah satu-satunya pekerjaan yang mampu aku lakukan. Aku minta maaf karena telah membohongimu,” jawab Rania dengan penuh rasa bersalah. “Lalu, apa alasanmu mengakui kalau itu adalah rumahmu, Ran?” tanya Haya lagi.

“Aku tidak ingin kehilanganmu. Jika aku mengatakan kalau aku pembantu, maka aku takut kau akan meninggalkanku. Aku tak ingin kehilangan sahabat yang aku sayangi selama ini,” jawab Rania.

Haya pun menenangkan Rania. “Ran, tatap mataku sekarang. Apa aku tega membiarkan sahabatku berjalan sendiri dalam menghadapi sebuah rintangan? Sahabat sejati bukanlah mereka yang memiliki banyak persamaan, tapi mereka yang memiliki pengertian terhadap setiap perbedaan. Sahabat tak akan menghilang saat masalah datang, tapi menggandeng tangan dan menghadapinya bersama-sama. Saling memahami bukan saling menghakimi,” ucap Haya sembari memegang erat tangan Rania. Perkataan Haya membuat Rania semakin percaya bahwa ia adalah sahabat sejatinya yang selalu mendampinginya dalam suka duka.

Akhirnya, dua insan yang saling menyayangi itu berdamai. Sahabat menjadi tempat berbagi kelelahan, berbagi kesedihan, dan tidak pernah menjual rahasia diri kita.

#menulis lagi#

Kebumen, 12 Nopember 2019

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Nah, sekarang sudah ketahuan. Dari bunda yang suka menulis, so pasti akan menetes pada sang putri. Salut.

12 Nov
Balas

Wah.....Sugeng enjang Pak Agus...Lama tak jumpa nih...Berkat paksaan sang guru akhirnya mau nulis Pak....hi..hi...

12 Nov

Masya Allah, ini bukan tulisan biasa. Jelas banget kalau gen ibunya mendominasi Mbak Fathia. Pupuk....pupuk...., jangan lupa. Agar bibit itu tumbuh dengan subur nantinya. Salam literasi buat si mbak. Salam sehat, bahagia, dan sukses selalu. Barakallah, Budhe Rini.

12 Nov
Balas

Uthiiiiiiii....Kangennnnn...Si sulung harus dipaksa dulu baru mau nulis......hi..hi....Terima kasih kunjungannya Uthi...Salam sehat dan bahagia selalu...Barakallah...

12 Nov

Wow, keren bingit Budhe. Wah sepertinya si sulung nuruni bakat ibunya yah. Sukses selalu dan barakallahu fiik

12 Nov
Balas

Hi..hi...Bunda Pipi bisa saja...Semangat pagi....Semoga Sukses....Barakallahu fiik....

12 Nov



search

New Post