Sebuah percakapan sederhana antara seorang ibu dengan putrinya. Di suatu hari yang cukup melelahkan. Waktu terasa begitu cepat. Pukul setengah lima sore baru pulang ke rumah. Suasana seperti kapal pecah. Lantai terasa kasar karena belum disapu. Rasanya kepala mau pecah. Kusandarkan bahu di kursi sekadar menghilangkan rasa pegal di punggung. Sembari memikirkan pekerjaan mana yang akan kuselesaikan terlebih dahulu. Terdengar suara pintu dibuka, si sulung juga baru pulang sekolah. Wajahnya terlihat lelah. Kulihat dia meletakkan tas punggungnya, berganti baju kemudian terlihat mengambil air minum. Kuperhatikan saja.

"Mbak, cucian piring banyak sekali," kataku. Tanpa bermaksud menyuruhnya.

Tanpa banyak berkata-kata dia berjalan ke samping rumah. Ternyata dia menuju tempat cucian piring. Aku segera mengikutinya karena teringat jemuran pakaian yang belum diangkat.

"Nggak capai, Mbak. Baru pulang sekolah." Tanyaku sambil mengelus rambutnya.

"Nggak, Bu. Aku kan wanita tangguh," ucapnya sambil menuang sunligt cair ke dalam mangkok.

Ucapannya membuatku tertegun. Kamu memang harus menjadi wanita tangguh, Nak. Di zaman yang semakin penuh tantangan ini diperlukan wanita tangguh. Tangguh untuk mengucapkan kata "tidak" ketika temanmu mengajak ke arah yang tidak baik. Tangguh menghadapi persaingan hidup yang semakin berat. Tangguh menghadapi cobaan ketika antara kenyataan dan harapan tidak sesuai. Tangguh ketika harus menjadi wanita seutuhnya yaitu menjadi seorang ibu. Tentunya dengan beban mendidik generasi bangsa yang berkualitas. Sungguh, ibumu hanya bisa mendoakanmu supaya kamu benar-benar menjadi wanita yang tangguh. Ridho Allah semoga selalu menyertaimu.

#edisi menulis lagi#

Kebumen, 5 Mei 2019